Aku dan Kolam Renang (bagian 1)
Kolam Renang Hotel Matahari : My Frist Swimming Pool
Kawan, dulu aku pernah berjanji di akun facebook-ku bahwa suatu saat akan ku ceritakan mengapa aku begitu
cinta dengan kolam renang. Ketika tadi pagi setelah dua minggu absen
menyambangi tempat favoritku itu karena tugas-tugas “kenegaraan”, tiba-tiba
teringat akan janji ini. Sebagai orang yang belajar sejarah, tentulah aku
mencoba mengawali segala sesuai dengan “the origin” atau asal-usul. Begitu juga
kaitannya dengan kesukaanku pada olahraga ini, perlu kuceritakan terlebih
dahulu bagaimana dahulu aku kenal dengan kolam renang. Begini ceritanya.
Waktu itu masih SD ketika Bapak mendaftarkanku dan adik
perempuanku di sebuah lembaga les renang namanya “Cethul”. Nama yang unik. Ketika
pertama membaca nama kursusan renang itu yang terbayang adalah aku akan lincah
berenang seperti ikan Cethul. Kalau kau tak tahu apa itu ikan Cethul, sesekali
mainlah ke kampungku di Nitikan. Di depan rumahku ada selokan kecil, sewaktu
aku kecil, di sana banyak tinggal ikan Cethul. Namun, entah, sekarang masih ada
atau tidak. Barang kali sudah berpindah ekosistem gara-gara pencemaran limbah
kamar mandi, cuci, maupun yang lain.
Nah, kembali ke kursusanku tadi. Setiap dua kali seminggu
(aku lupa harinya) kami berdua dijemput dengan sebuah mobil tua oleh pengurus
kursusan. Ya, warnanya biru dongker. Suatu ketika saat mobil itu tiba di depan
rumah dan aku membuka pintu, sudah penuh dengan teman-teman yang tidak satupun
aku kenal. Dengan percaya diri aku masuk. Eh, ternyata, di ujung gang rumah aku
teringat bahwa kartu pantau kursusku ketinggalan. Dengan penuh malu aku minta
mobil berhenti, berlari secepat kilat ke rumah dan kembali lagi ke mobil
tergopoh-gopoh dengan kartu di tangan.
Kamu tau mengapa kartu pantau itu harus dibawa. Ya, selain
untuk absen, ternyata itu juga digunakan bukti pembayaran. Kalau aku tidak
membawa dan akhirnya kolom kehadiranpun dikosongkan, maka mungkin di akhir
bulan aku bisa tidak membayar penuh meskipun datang ke kursusan. Mungkin itu
alasannya. Mereka tidak mau rugi:
mengajariku tanpa dibayar!
Aku masih ingat. Ya, dua kali seminggu kami latihan di kolam
renang Hotel Matahari. Itulah kolam renang yang pertama kali aku masuki. Tentu
saja di kolam kecil yang cuma setengah meter! Namun, setelah entah berapa
bulan, aku harus pindah ke kolam yang lebih besar, tapi hanya di kedalaman satu
meter. Kemudian bertahun-tahun aku tidak masuk kolam renang, kecuali dengan kawan-kawan
kampung yang menyewa kolam renang hotel-hotel kelas melati di sekitar
Karangkajen, yang tak jauh dari rumahku.
Aha, terkait hobiku berenang bersama kawan-kawan kampung,
aku jadi ingat sebuah peristiwa yang mungkin tidak pernah ku lupakan dalam
hidup. Sebelah timur kampungku, ada bendungan irigasi yang biasa disebut “matras”.
Di sanalah tempat kami melepaskan penat sepulang sekolah. Biasanya berangkat
sekitar setelah Dhuhur. Dengan bersepeda kami pun menuju tempat yang hanya
kurang lebih 15 menit dari kampung. Di Matras ada satu bendungan besar dan kali
kecil. Di kali kecil itu kami biasa bercengkrama.
Air di Matras cukup bersih dan segar tentunya. Itulah
mengapa kami senang ke sana, meskipun seringkali di larang oleh orang tua kami.
Alasannya macam-macam. Tempatnya yang agak seram karena di bawah pohon-pohon bambu,
di sana juga ada rumah penjaga air yang sudah lama kosongm tapi karena setiap
kali kami ke sana siang hari, itu semua tidaklah masalah. Namun yang lebih
dikhawatirkan orang tua kami sebenarnya adalah jika di antara kami ada yang
tenggelam. Kaitannya dengan ini akan kuceritakan nanti, Kawan.
Hari itu, sejak awal aku sudah diperingatkan oleh
kawan-kawanku agar menjauhi bagian dalam dari kali kecil itu. Namun ketika itu
karena memang tergoda oleh teman-teman yang sepertinya sangat asyik berenang,
akupun segera melepas baju (dan entah pakai apa ketika itu) dan “byuuuur”. Aku
merasa tubuhku masuk ke air, tapi tertahan di dalam dan tidak bisa naik.
Seketika itu tanganku berusaha meraih siapapun yang ada di atasku. Sepertinya
Tuhan masih saying aku. Diraihlah tanganku oleh seorang kawan tetangga kampung,
namanya Dadiyo. Dialah penyelamatku (tentu atas izin Tuhan, Kawan). Orangnya
lugu dan bersahabat. Hingga dewasa, ternyata diapun tidak lupa dengan kejadian
itu. Ah, masa lalu yang lucu.
**(bersambung)**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar