Jumat, 05 Oktober 2012

Masa Lalu


Aku dan Kolam Renang (bagian 1)

Kolam Renang Hotel Matahari : My Frist Swimming Pool


Kawan, dulu aku pernah berjanji di akun facebook-ku bahwa suatu saat akan ku ceritakan mengapa aku begitu cinta dengan kolam renang. Ketika tadi pagi setelah dua minggu absen menyambangi tempat favoritku itu karena tugas-tugas “kenegaraan”, tiba-tiba teringat akan janji ini. Sebagai orang yang belajar sejarah, tentulah aku mencoba mengawali segala sesuai dengan “the origin” atau asal-usul. Begitu juga kaitannya dengan kesukaanku pada olahraga ini, perlu kuceritakan terlebih dahulu bagaimana dahulu aku kenal dengan kolam renang. Begini ceritanya.

Waktu itu masih SD ketika Bapak mendaftarkanku dan adik perempuanku di sebuah lembaga les renang namanya “Cethul”. Nama yang unik. Ketika pertama membaca nama kursusan renang itu yang terbayang adalah aku akan lincah berenang seperti ikan Cethul. Kalau kau tak tahu apa itu ikan Cethul, sesekali mainlah ke kampungku di Nitikan. Di depan rumahku ada selokan kecil, sewaktu aku kecil, di sana banyak tinggal ikan Cethul. Namun, entah, sekarang masih ada atau tidak. Barang kali sudah berpindah ekosistem gara-gara pencemaran limbah kamar mandi, cuci, maupun yang lain.

Nah, kembali ke kursusanku tadi. Setiap dua kali seminggu (aku lupa harinya) kami berdua dijemput dengan sebuah mobil tua oleh pengurus kursusan. Ya, warnanya biru dongker. Suatu ketika saat mobil itu tiba di depan rumah dan aku membuka pintu, sudah penuh dengan teman-teman yang tidak satupun aku kenal. Dengan percaya diri aku masuk. Eh, ternyata, di ujung gang rumah aku teringat bahwa kartu pantau kursusku ketinggalan. Dengan penuh malu aku minta mobil berhenti, berlari secepat kilat ke rumah dan kembali lagi ke mobil tergopoh-gopoh dengan kartu di tangan.

Kamu tau mengapa kartu pantau itu harus dibawa. Ya, selain untuk absen, ternyata itu juga digunakan bukti pembayaran. Kalau aku tidak membawa dan akhirnya kolom kehadiranpun dikosongkan, maka mungkin di akhir bulan aku bisa tidak membayar penuh meskipun datang ke kursusan. Mungkin itu alasannya.  Mereka tidak mau rugi: mengajariku tanpa dibayar!

Aku masih ingat. Ya, dua kali seminggu kami latihan di kolam renang Hotel Matahari. Itulah kolam renang yang pertama kali aku masuki. Tentu saja di kolam kecil yang cuma setengah meter! Namun, setelah entah berapa bulan, aku harus pindah ke kolam yang lebih besar, tapi hanya di kedalaman satu meter. Kemudian bertahun-tahun aku tidak masuk kolam renang, kecuali dengan kawan-kawan kampung yang menyewa kolam renang hotel-hotel kelas melati di sekitar Karangkajen, yang tak jauh dari rumahku.

Aha, terkait hobiku berenang bersama kawan-kawan kampung, aku jadi ingat sebuah peristiwa yang mungkin tidak pernah ku lupakan dalam hidup. Sebelah timur kampungku, ada bendungan irigasi yang biasa disebut “matras”. Di sanalah tempat kami melepaskan penat sepulang sekolah. Biasanya berangkat sekitar setelah Dhuhur. Dengan bersepeda kami pun menuju tempat yang hanya kurang lebih 15 menit dari kampung. Di Matras ada satu bendungan besar dan kali kecil. Di kali kecil itu kami biasa bercengkrama. 

Air di Matras cukup bersih dan segar tentunya. Itulah mengapa kami senang ke sana, meskipun seringkali di larang oleh orang tua kami. Alasannya macam-macam. Tempatnya yang agak seram karena di bawah pohon-pohon bambu, di sana juga ada rumah penjaga air yang sudah lama kosongm tapi karena setiap kali kami ke sana siang hari, itu semua tidaklah masalah. Namun yang lebih dikhawatirkan orang tua kami sebenarnya adalah jika di antara kami ada yang tenggelam. Kaitannya dengan ini akan kuceritakan nanti, Kawan.

Hari itu, sejak awal aku sudah diperingatkan oleh kawan-kawanku agar menjauhi bagian dalam dari kali kecil itu. Namun ketika itu karena memang tergoda oleh teman-teman yang sepertinya sangat asyik berenang, akupun segera melepas baju (dan entah pakai apa ketika itu) dan “byuuuur”. Aku merasa tubuhku masuk ke air, tapi tertahan di dalam dan tidak bisa naik. Seketika itu tanganku berusaha meraih siapapun yang ada di atasku. Sepertinya Tuhan masih saying aku. Diraihlah tanganku oleh seorang kawan tetangga kampung, namanya Dadiyo. Dialah penyelamatku (tentu atas izin Tuhan, Kawan). Orangnya lugu dan bersahabat. Hingga dewasa, ternyata diapun tidak lupa dengan kejadian itu. Ah, masa lalu yang lucu.

**(bersambung)**


Tidak ada komentar:

Posting Komentar