Kursi Roda,
Muallaf dan Thammasat
Tiga kata, beda arti yang mungkin tidak bisa dikaitkan.
Namun, bagi orang yang mencoba mengkaitkan, itu tidak dilarang. Mungkin ada
yang menerka seorang muallaf yang naik kursi roda pergi ke Thammasat. Atau ada
juga yang mungkin mengira yang lain, juga boleh. Namun, taukah, Kawan. Tiga
kata itu terikat dalam satu kata: inspirasi!
Inspirasi pertama:
kursi roda
Aku merasa beruntung, dengan bahasa Inggris yang pas-pasan
mendapat kesempatan menjadi asisten akademik untuk mata kuliah “Indonesian
Religion and Belief” di kelas IUP Tourism. Keren banget ya nama mata kuliahnya?
Itu nama keren dari mata kuliah agama. : ) Karena kesempatan itulah aku bertemu
dengan seorang mahasiswa bernama Roger yang berkewarganegaraan Australia
keturunan Sukabumi-Medan. Dia alumni Adelaide University yang mengambil kuliah
Bahasa Indonesia di INCULS. Satu diantara dua orang asing yang ada di kelas
kami. Sosok yang giat dan tangguh walaupun duduk di atas kursi roda.
Bisa dibayangkan, kelas kami berada di lantai 3 Margono dan
dimulai pukul 7. Dia tidak pernah terlambat. Pernah suatu saat, kami
memindahkan kuliah di Mushalla al-Adab FIB, karena memang materinya praktek wudlu
dan tayamum, karena itulah aku berangkat lebih pagi. Tidak lama berselang
setelah aku bertemu para mahasiswa yang lain di depan mushalla, sekelebat
datang sesosok yang cepat. Sontak semua memanggil, “Hi, Roger. Stop! Our class is
moved”. Dia pun berhenti mendadak dan dengan peluh keringatnya dia masih tersenyum dan ramah menghampiri kami.
Cerita tentang Roger belum selesai. Awalnya aku kira para
mahasiswa tahu bahwa akan lebih nyaman ketika kelas diadakan di dalam Mushalla.
Dengan tenang aku masuk meninggalkan mereka. Semua lupa jika Roger kesulitan
untuk turun dari kursi roda. Tau kah kawan apa yang terjadi? Dia berusaha
sendiri naik ke serambi mushalla tanpa mau dibantu temannya. Namun, khirnya “OMG!”
dia berhasil naik ke atas serambi bersama kursi rodanya. “Hmm, bisa berabe
disemprot bapak yang ngepel mushalla,” pikirku. Sudahlah, kelas dipindah di
serambi sebelah selatan saja, dekat dengan tempat wudlu, supaya Roger lebih
dekat dengan kami.
Sosok ceria, tangguh, semangat dan tidak kenal putus asa itu
tiba-tiba menghilang dari kelas kami 2 pekan lalu. Kemana dia? Erica, teman
sekelasnya yang alumni Yale University bercerita kalau dia harus pulang ke
Australia karena kakinya yang teramputasi infeksi. Hmm, sejenak kelas hening. Sosok
yang ceria itu kini telah menghilang. Namun semangat pantang menyerahmu untuk
belajar bahasa Indonesia dan kebudayaan Indonesia termasuk agama Islam masih
tertinggal di sini.
Isnpirasi kedua:
muallaf
Apa yang kalian ketahui tentang muallaf? Ya, seseorang yang
sebelumnya tidak beragama Islam kemudian memeluk Islam. Jujur, sepanjang hidup,
memang ini bukan yang pertama aku temui karena dulu sewaktu SMP pun ada teman
yang Muallaf dan aku ikut menyaksikan temanku itu mengucapkan dua kalimat syahadat
di depan kelas dibimbing guru Agama. Namun kali ini, benar-benar di depan
mataku aku menyaksikan betapa perjuangan orang yang benar-benar menemukan
cahaya. Karena memang dia kebetulan teman sekelasku kuliah.
Namanya aku rahasiakan. Dia bercerita bahwa dia dulu seorang
Katholik yang taat. Dia sudah lama tertarik Islam, sekitar empat tahun yang
lalu ketika mulai kuliah di sebuah perguruan tinggi di sebuah kota di Jawa
Timur. Namun keyakinan dan keputusannya semakin bulat untuk berislam beberapa
waktu yang lalu. Dorongan dan bimbingan teman-temannya di kampusnya juga yang
akhirnya mempercepat prose situ. Dan sekarang diapun mantap menjadi seorang
muslimah. Terlihat dari kesemangatannya untuk mengetik ataupun mengucapkan “Assalamu’alaikum”
ketika SMS ataupun telpon, tentunya untuk urusan kuliah. Diapun mantap
mengatakan “Saya shalat dulu ya.”
Pada suatu sore dia tampak ketakutan. Itulah mengapa dia
tergopoh-gopoh menghampiriku. Dia dengar kabar bahwa salah satu dosen kami
adalah frather (katanya sih pembantu
pendeta). Sontak aku ketawa. “Hahaha.. Mana ada yang begituan di sini.”. Dia
tambah bingung dan butuh keyakinan. Emangnya kenapa, tanyaku. Dia takut kalau
masuknya dia ke Islam dan diketahi sang frather akan mempengaruhi segala
sesuatu yang berhubungan dengan akademiknya. Ku jawab dengan santai, “Ndak ada
itu! Tenang aja”. Aku janji suatu saat akan ku temani menghadap dosen yang
barangkali bisa membimbing dia secara rohani.
Setelah lebih lega, dia bercerita bahwa ketika keluarganya
tahu bahwa dia keluar dari agamanya, seketika itu juga dia diusir dari rumah.
Seluruh pakaiannya tidak boleh dibawa. Hanya pakaian yang membalut tubuhnya itu
saja yang boleh. Mulai saat itu, dia berusaha keras untuk bisa memenuhi
hidupnya sendiri. Dengan cara apapun yang dia bisa. Dahsyat! Singkat cerita, ternyata
dia dapat beasiswa kuliah dari DIKTI. Dengan tekat yang bulat diapun berangkat ke
Jogja dengan segala konsekwensi yang harus dihadapi. Allah benar-benar maha
penyayang. Semoga dengan imanmu itu, kamu bisa mencium surga-Nya, Kawan.
Inspirasi ketiga: Thammasat
Iya, itu nama sebuah universitas di Thailand. Apa
istimewanya? Istimewanya adalah salah satu sahabatku di IMM tanggal 27 ini akan
berangkat ke sana untuk lanjut studi di jurusan Teknik Industri. Namanya
Fauzan. Sosoknya sederhana, periang namun agak tertutup dengan hal-hal yang
pribadi. Baru pagi tadi aku tahu kabar bahagia ini dari akun facebook-nya. Ke luar negeri mungkin itu
biasa bagi sebagian orang. Tapi bagiku itu sesuatu yang luar biasa. Kisah
Fauzan ini sekali lagi mengingatkanku bahwa benar kiranya bahwa Allah itu senang
memberikan kejutan kepada hamba-Nya yang selalu dekat dengan-Nya.
Aku katakana dia sosok yang sederhana karena sejak SMP dia
merantau dari Surabaya untuk tinggal bersama buleknya di Jogja. Rumahnya tidak
jauh dari rumahku. Sehari-hari dia sangat rajin membantu buleknya. Maklum,
sudah hampir 10 tahun buleknya diikutinya. Urusan rumah tanggal seperti ngliwet
nasi, menjaga kelontong kecil buleknya, bahkan menyalakan kompor itu bagian
dari pekerjaannya. Dia tidak tenang untuk meninggalkan rumah kalau urusan
sehari-harinya belum selesai. Rumah buleknya yang hanya 20 meter dari masjidpun
membawanya selalu hadir sembahyang di sana kecuali ada halangan. Di IMM-pun
kesemangatan untuk berbagi melalui bidang sosial ekonomipun terasa nyetrum
teman-teman yang lain, meskipun ya terkadang naik turun.
Tidak cuma sederhana, dia pun ulet. Dia jualan pulsa, aku pun sering hutang kepadanya. Untung
seribu demi seribu yang dikumpulkannya akhirnya membuatnya bisa membeli HP yang
lumayan istimewa. Dia selalu bangga bercerita “Iki teko bati pulsa, Om”. Begitu
sering kali dia bercerita dengan logat Suroboyonya. Aku pun hanya tersenyum
kagum. Selain ulet, diapun termasuk kawan IMM yang ku lihat paling “ngirit”
alias hemat. Mungkin faktor dia hidup sendiri merantau dengan segala
keterbatasan membuatnya harus melakukan itu.
Entah dia akan wisuda bulan November ini atau malah sudah
Agustus yang lalu. Yang jelas dia sudah pendadaran, aku tahu itu. Tidak ada
kata yang terucap selain kebanggaan. Selamat belajar, Kawan. Semoga ilmu yang
kau dapatkan dapat bermanfaat untuk masyarakat luas. Jangan lupa salamku untuk
cicitnya Kiai Dahlan di Bangkok. : )
Sepandai-pandainya orang adalah orang yang bisa mengambil inspirasi, hikmah dan pelajaran dari perjalanan hidup orang lain..
like this stories.. good job bro...
BalasHapus