Kamis, 18 Oktober 2012

Daily Inspiration


Kursi Roda, Muallaf dan Thammasat



Tiga kata, beda arti yang mungkin tidak bisa dikaitkan. Namun, bagi orang yang mencoba mengkaitkan, itu tidak dilarang. Mungkin ada yang menerka seorang muallaf yang naik kursi roda pergi ke Thammasat. Atau ada juga yang mungkin mengira yang lain, juga boleh. Namun, taukah, Kawan. Tiga kata itu terikat dalam satu kata: inspirasi!

Inspirasi pertama: kursi roda
Aku merasa beruntung, dengan bahasa Inggris yang pas-pasan mendapat kesempatan menjadi asisten akademik untuk mata kuliah “Indonesian Religion and Belief” di kelas IUP Tourism. Keren banget ya nama mata kuliahnya? Itu nama keren dari mata kuliah agama. : ) Karena kesempatan itulah aku bertemu dengan seorang mahasiswa bernama Roger yang berkewarganegaraan Australia keturunan Sukabumi-Medan. Dia alumni Adelaide University yang mengambil kuliah Bahasa Indonesia di INCULS. Satu diantara dua orang asing yang ada di kelas kami. Sosok yang giat dan tangguh walaupun duduk di atas kursi roda.

Bisa dibayangkan, kelas kami berada di lantai 3 Margono dan dimulai pukul 7. Dia tidak pernah terlambat. Pernah suatu saat, kami memindahkan kuliah di Mushalla al-Adab FIB, karena memang materinya praktek wudlu dan tayamum, karena itulah aku berangkat lebih pagi. Tidak lama berselang setelah aku bertemu para mahasiswa yang lain di depan mushalla, sekelebat datang sesosok yang cepat. Sontak semua memanggil, “Hi, Roger. Stop! Our class is moved”. Dia pun berhenti mendadak dan dengan peluh keringatnya dia  masih tersenyum dan ramah menghampiri kami.

Cerita tentang Roger belum selesai. Awalnya aku kira para mahasiswa tahu bahwa akan lebih nyaman ketika kelas diadakan di dalam Mushalla. Dengan tenang aku masuk meninggalkan mereka. Semua lupa jika Roger kesulitan untuk turun dari kursi roda. Tau kah kawan apa yang terjadi? Dia berusaha sendiri naik ke serambi mushalla tanpa mau dibantu temannya. Namun, khirnya “OMG!” dia berhasil naik ke atas serambi bersama kursi rodanya. “Hmm, bisa berabe disemprot bapak yang ngepel mushalla,” pikirku. Sudahlah, kelas dipindah di serambi sebelah selatan saja, dekat dengan tempat wudlu, supaya Roger lebih dekat dengan kami.

Sosok ceria, tangguh, semangat dan tidak kenal putus asa itu tiba-tiba menghilang dari kelas kami 2 pekan lalu. Kemana dia? Erica, teman sekelasnya yang alumni Yale University bercerita kalau dia harus pulang ke Australia karena kakinya yang teramputasi infeksi. Hmm, sejenak kelas hening. Sosok yang ceria itu kini telah menghilang. Namun semangat pantang menyerahmu untuk belajar bahasa Indonesia dan kebudayaan Indonesia termasuk agama Islam masih tertinggal di sini.

Isnpirasi kedua: muallaf
Apa yang kalian ketahui tentang muallaf? Ya, seseorang yang sebelumnya tidak beragama Islam kemudian memeluk Islam. Jujur, sepanjang hidup, memang ini bukan yang pertama aku temui karena dulu sewaktu SMP pun ada teman yang Muallaf dan aku ikut menyaksikan temanku itu mengucapkan dua kalimat syahadat di depan kelas dibimbing guru Agama. Namun kali ini, benar-benar di depan mataku aku menyaksikan betapa perjuangan orang yang benar-benar menemukan cahaya. Karena memang dia kebetulan teman sekelasku kuliah.

Namanya aku rahasiakan. Dia bercerita bahwa dia dulu seorang Katholik yang taat. Dia sudah lama tertarik Islam, sekitar empat tahun yang lalu ketika mulai kuliah di sebuah perguruan tinggi di sebuah kota di Jawa Timur. Namun keyakinan dan keputusannya semakin bulat untuk berislam beberapa waktu yang lalu. Dorongan dan bimbingan teman-temannya di kampusnya juga yang akhirnya mempercepat prose situ. Dan sekarang diapun mantap menjadi seorang muslimah. Terlihat dari kesemangatannya untuk mengetik ataupun mengucapkan “Assalamu’alaikum” ketika SMS ataupun telpon, tentunya untuk urusan kuliah. Diapun mantap mengatakan “Saya shalat dulu ya.”

Pada suatu sore dia tampak ketakutan. Itulah mengapa dia tergopoh-gopoh menghampiriku. Dia dengar kabar bahwa salah satu dosen kami adalah frather (katanya sih pembantu pendeta). Sontak aku ketawa. “Hahaha.. Mana ada yang begituan di sini.”. Dia tambah bingung dan butuh keyakinan. Emangnya kenapa, tanyaku. Dia takut kalau masuknya dia ke Islam dan diketahi sang frather akan mempengaruhi segala sesuatu yang berhubungan dengan akademiknya. Ku jawab dengan santai, “Ndak ada itu! Tenang aja”. Aku janji suatu saat akan ku temani menghadap dosen yang barangkali bisa membimbing dia secara rohani.

Setelah lebih lega, dia bercerita bahwa ketika keluarganya tahu bahwa dia keluar dari agamanya, seketika itu juga dia diusir dari rumah. Seluruh pakaiannya tidak boleh dibawa. Hanya pakaian yang membalut tubuhnya itu saja yang boleh. Mulai saat itu, dia berusaha keras untuk bisa memenuhi hidupnya sendiri. Dengan cara apapun yang dia bisa. Dahsyat! Singkat cerita, ternyata dia dapat beasiswa kuliah dari DIKTI. Dengan tekat yang bulat diapun berangkat ke Jogja dengan segala konsekwensi yang harus dihadapi. Allah benar-benar maha penyayang. Semoga dengan imanmu itu, kamu bisa mencium surga-Nya, Kawan.

Inspirasi ketiga: Thammasat
Iya, itu nama sebuah universitas di Thailand. Apa istimewanya? Istimewanya adalah salah satu sahabatku di IMM tanggal 27 ini akan berangkat ke sana untuk lanjut studi di jurusan Teknik Industri. Namanya Fauzan. Sosoknya sederhana, periang namun agak tertutup dengan hal-hal yang pribadi. Baru pagi tadi aku tahu kabar bahagia ini dari akun facebook-nya. Ke luar negeri mungkin itu biasa bagi sebagian orang. Tapi bagiku itu sesuatu yang luar biasa. Kisah Fauzan ini sekali lagi mengingatkanku bahwa benar kiranya bahwa Allah itu senang memberikan kejutan kepada hamba-Nya yang selalu dekat dengan-Nya.

Aku katakana dia sosok yang sederhana karena sejak SMP dia merantau dari Surabaya untuk tinggal bersama buleknya di Jogja. Rumahnya tidak jauh dari rumahku. Sehari-hari dia sangat rajin membantu buleknya. Maklum, sudah hampir 10 tahun buleknya diikutinya. Urusan rumah tanggal seperti ngliwet nasi, menjaga kelontong kecil buleknya, bahkan menyalakan kompor itu bagian dari pekerjaannya. Dia tidak tenang untuk meninggalkan rumah kalau urusan sehari-harinya belum selesai. Rumah buleknya yang hanya 20 meter dari masjidpun membawanya selalu hadir sembahyang di sana kecuali ada halangan. Di IMM-pun kesemangatan untuk berbagi melalui bidang sosial ekonomipun terasa nyetrum teman-teman yang lain, meskipun ya terkadang naik turun.

Tidak cuma sederhana, dia pun ulet. Dia jualan pulsa, aku pun sering hutang kepadanya. Untung seribu demi seribu yang dikumpulkannya akhirnya membuatnya bisa membeli HP yang lumayan istimewa. Dia selalu bangga bercerita “Iki teko bati pulsa, Om”. Begitu sering kali dia bercerita dengan logat Suroboyonya. Aku pun hanya tersenyum kagum. Selain ulet, diapun termasuk kawan IMM yang ku lihat paling “ngirit” alias hemat. Mungkin faktor dia hidup sendiri merantau dengan segala keterbatasan membuatnya harus melakukan itu.

Entah dia akan wisuda bulan November ini atau malah sudah Agustus yang lalu. Yang jelas dia sudah pendadaran, aku tahu itu. Tidak ada kata yang terucap selain kebanggaan. Selamat belajar, Kawan. Semoga ilmu yang kau dapatkan dapat bermanfaat untuk masyarakat luas. Jangan lupa salamku untuk cicitnya Kiai Dahlan di Bangkok. : )

Sepandai-pandainya orang adalah orang yang bisa mengambil inspirasi, hikmah dan pelajaran dari perjalanan hidup orang lain.. 

Jumat, 05 Oktober 2012

Curhat


Terjebak

Kalau bisa kembali ke masa lalu, aku memilih tidak mau bergabung di kepanitiaan ini. Apa alasannya, nanti kau kuceritakan, Kawan. Panitia Roadshow Indonesia Mengajar Yogyakarta 2012. Begitu nama kepanitiaan ini. Pada awalnya, aku dihubungi oleh salah seorang sahabat yang dulu pernah menjadi Pengajar Muda dalam Gerakan Indonesia Mengajar. Eh, sebelum aku cerita lebih panjang, jangan-jangan belum semua tahu apa itu Indonesia Mengajar? Baiklah, aku ceritakan terlebih dahulu.

Indonesia Mengajar adalah program yang digagas oleh Mas Anies Baswedan. Seorang alumni Fakultas Ekonomi UGM yang saat ini menjadi Rektor Universitas Paramadina, Jakarta. Sering juga muncul di TV. Pernah juga jadi host Save Our Nation di Metro TV. Ah, masa orang seterkenal Mas Anies tidak kamu kenal, Kawan? Program ini bergerak dalam bidang pendidikan dengan mengirimkan sarjana terbaik lulusan perguruan tinggi se-Indonesia untuk ditempatkan sebagai guru SD di sebuah desa terpencil di Indonesia. Saat ini program itu telah mengirimkan 4 angkatan, sebentar lagi angkatan 5 juga akan berangkat.

Kembali ke cerita kepanitiaan ini. Kalau boleh jujur, aku terjebak. Aku tidak membayangkan harus bekerja teknis dan sangat teknis dalam menyiapkan acara ini. Bukannya tidak mau bekerja praktis dan teknis, Kawan, karena itu sudah bagian dari perjalanan hidupku dan akupun dibesarkan oleh organisasi. Masalahnya, di awal diminta bergabung, penjelasan kawanku adalah, aku akan menjadi SC dari sebuah eventnya Indonesia Mengajar. Seketika itu juga aku “iya”-kan, Kawan. Maklum, bergabung menjadi Pengajar Muda di Gerakan Indonesia Mengajar adalah salah satu mimpiku yang tak mungkin terwujud sepertinya. Selain faktor usia, pilihan jalan hidup sepertinya tidak bisa dikompromikan.
Nah, bayangan menjadi SC tentu cukup “menggiurkan”. Karena pastinya pekerjaan di kepanitiaan itu tidaklah terlalu ribet. Eh, ternyata tidak demikian. Rapat pertama memaksaku untuk memilih, mau jadi apa di dalam kepanitiaan. Sebelum memilih, aku kembali melihat jadwalku yang cukup padat: setiap hari dari Senin-Jumat masuk kampus jam 7 dan harus pulang jam 17.30 karena kursus di Sanata Dharma. Pilihanku jatuh pada Kesekretariatan. Pilihan itu menurutku paling realistis, dibandingkan harus memilih perkap, publikasi ataupun acara. Bayanganku, setelah surat-surat beres, aku tinggal menunggu tiket box dan merekap pendaftaran hari H.

Apa yang kubayangkan ternyata ambyar. Begitu bahasa Jawa yang mungkin bisa menggambarkan. Jadwal harian yang sudah cukup padat harus dibebani dengan rapat setiap pekan yang diadakan malam hari. Kebetulan harinya Senin. Bisa kamu bayangkan, Kawan. Ketika hari Senin berarti mulai jam 7 aku kuliah, jam 9 aku ngajar, jam 11 kuliah lagi, jam 14 sampai 17.30 kursus ditambah rapat jam 19 sampai 21 atau 22, sampai rumah jam berapa itu? Aku merasa tidak sanggup.

Perlahan, semakin mendekati hari H ini, aku mulai merasa menemukan ritme dan chemistry di dalam kepanitiaan ini. Ya, walaupun sedikit. Belum banyak seperti teman-teman yang lain yang mungkin bebannya tidak seberat aku. Ah, ya sudah. Namun, ada satu hal yang selalu menghiburku setiap waktu adalah ketika aku harus menjadi CP. Ya, kepanjangan dari Contact Person. Menjadi CP memang lucu. Karena dapat tugas jadi CP ini, aku bisa membedakan karakter calon peserta sebuah event. Apa itu? Simak di bagian tulisanku yang lain, Kawan. : )

Masa Lalu


Aku dan Kolam Renang (bagian 1)

Kolam Renang Hotel Matahari : My Frist Swimming Pool


Kawan, dulu aku pernah berjanji di akun facebook-ku bahwa suatu saat akan ku ceritakan mengapa aku begitu cinta dengan kolam renang. Ketika tadi pagi setelah dua minggu absen menyambangi tempat favoritku itu karena tugas-tugas “kenegaraan”, tiba-tiba teringat akan janji ini. Sebagai orang yang belajar sejarah, tentulah aku mencoba mengawali segala sesuai dengan “the origin” atau asal-usul. Begitu juga kaitannya dengan kesukaanku pada olahraga ini, perlu kuceritakan terlebih dahulu bagaimana dahulu aku kenal dengan kolam renang. Begini ceritanya.

Waktu itu masih SD ketika Bapak mendaftarkanku dan adik perempuanku di sebuah lembaga les renang namanya “Cethul”. Nama yang unik. Ketika pertama membaca nama kursusan renang itu yang terbayang adalah aku akan lincah berenang seperti ikan Cethul. Kalau kau tak tahu apa itu ikan Cethul, sesekali mainlah ke kampungku di Nitikan. Di depan rumahku ada selokan kecil, sewaktu aku kecil, di sana banyak tinggal ikan Cethul. Namun, entah, sekarang masih ada atau tidak. Barang kali sudah berpindah ekosistem gara-gara pencemaran limbah kamar mandi, cuci, maupun yang lain.

Nah, kembali ke kursusanku tadi. Setiap dua kali seminggu (aku lupa harinya) kami berdua dijemput dengan sebuah mobil tua oleh pengurus kursusan. Ya, warnanya biru dongker. Suatu ketika saat mobil itu tiba di depan rumah dan aku membuka pintu, sudah penuh dengan teman-teman yang tidak satupun aku kenal. Dengan percaya diri aku masuk. Eh, ternyata, di ujung gang rumah aku teringat bahwa kartu pantau kursusku ketinggalan. Dengan penuh malu aku minta mobil berhenti, berlari secepat kilat ke rumah dan kembali lagi ke mobil tergopoh-gopoh dengan kartu di tangan.

Kamu tau mengapa kartu pantau itu harus dibawa. Ya, selain untuk absen, ternyata itu juga digunakan bukti pembayaran. Kalau aku tidak membawa dan akhirnya kolom kehadiranpun dikosongkan, maka mungkin di akhir bulan aku bisa tidak membayar penuh meskipun datang ke kursusan. Mungkin itu alasannya.  Mereka tidak mau rugi: mengajariku tanpa dibayar!

Aku masih ingat. Ya, dua kali seminggu kami latihan di kolam renang Hotel Matahari. Itulah kolam renang yang pertama kali aku masuki. Tentu saja di kolam kecil yang cuma setengah meter! Namun, setelah entah berapa bulan, aku harus pindah ke kolam yang lebih besar, tapi hanya di kedalaman satu meter. Kemudian bertahun-tahun aku tidak masuk kolam renang, kecuali dengan kawan-kawan kampung yang menyewa kolam renang hotel-hotel kelas melati di sekitar Karangkajen, yang tak jauh dari rumahku.

Aha, terkait hobiku berenang bersama kawan-kawan kampung, aku jadi ingat sebuah peristiwa yang mungkin tidak pernah ku lupakan dalam hidup. Sebelah timur kampungku, ada bendungan irigasi yang biasa disebut “matras”. Di sanalah tempat kami melepaskan penat sepulang sekolah. Biasanya berangkat sekitar setelah Dhuhur. Dengan bersepeda kami pun menuju tempat yang hanya kurang lebih 15 menit dari kampung. Di Matras ada satu bendungan besar dan kali kecil. Di kali kecil itu kami biasa bercengkrama. 

Air di Matras cukup bersih dan segar tentunya. Itulah mengapa kami senang ke sana, meskipun seringkali di larang oleh orang tua kami. Alasannya macam-macam. Tempatnya yang agak seram karena di bawah pohon-pohon bambu, di sana juga ada rumah penjaga air yang sudah lama kosongm tapi karena setiap kali kami ke sana siang hari, itu semua tidaklah masalah. Namun yang lebih dikhawatirkan orang tua kami sebenarnya adalah jika di antara kami ada yang tenggelam. Kaitannya dengan ini akan kuceritakan nanti, Kawan.

Hari itu, sejak awal aku sudah diperingatkan oleh kawan-kawanku agar menjauhi bagian dalam dari kali kecil itu. Namun ketika itu karena memang tergoda oleh teman-teman yang sepertinya sangat asyik berenang, akupun segera melepas baju (dan entah pakai apa ketika itu) dan “byuuuur”. Aku merasa tubuhku masuk ke air, tapi tertahan di dalam dan tidak bisa naik. Seketika itu tanganku berusaha meraih siapapun yang ada di atasku. Sepertinya Tuhan masih saying aku. Diraihlah tanganku oleh seorang kawan tetangga kampung, namanya Dadiyo. Dialah penyelamatku (tentu atas izin Tuhan, Kawan). Orangnya lugu dan bersahabat. Hingga dewasa, ternyata diapun tidak lupa dengan kejadian itu. Ah, masa lalu yang lucu.

**(bersambung)**