PROF. DR. ABDUL KAHAR MUZAKKIR:
SANG
PEMBUKA DIPLOMASI REPUBLIK INDONESIA
KE
NEGARA-NEGARA DI TIMUR TENGAH
1. Kelahiran& Latar Belakang Pendidikan
Dilahirkan
di Kotagede, Yogyakarta 16 April 1907, Abdul Kahar Mudzakkir memulai pendidikan
formalnya di Sekolah Rakyat di Yogyakarta yang kemudian dilanjutkan di Madrasah
Manba’ul Uluum di Surakarta. Ayahnya, Kyai Mudzakkir, yang merupakan seoarang
muballigh di Kotagede yang juga menjadi Wakil Penghulu Kraton Yogyakarta
menginginkan putranya mendalami agama Islam, untuk itulah
Abdul Kahar disekolahkan di Pondok Pesantren Jamsaren, Solo
dan Pondok Pesantren Termas, Pacitan.
Secara
genalogis, Abdul Kahar merupakan keturunan dari abdi dalem urusan agama (pamethakan)
Kraton Yogyakarta. Kakeknya, Kyai Abdullah Rasyad yang merupakan putra Kyai
Hassan Bashari merupakan Ketib Anem (Khatib Anom) Kraton Yogyakarta.
Sedangkan ayahnya, Kyai Mudzakkir adalah kakak kandung dari Kyai Munawwir,
pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.
Usai
menyelesiakan pendidikannya di Jamsaren dan Termas, Abdul Kahar melanjutkan
pendidikan agamnya di Makkah (1924-1925) dibawah bimbingan Syaikh Muhammad
Al-Baqir. Ia sempat mencicipi mendidikan di Bagian Ibtidaiyyah Universitas
Al-Azhar, Cairo, Mesir (1925) dan madrasah-madrasah milik pemerintah Mesir,
antara lain al-Mu’allimin (1926), sebelum akhirnya menempuh pendidikan agama di
Universitas Daarul-‘Uluum al-‘Ulyaa yang diselesaikannya pada 1936.
2. Aktivitas
Ketika Menjadi Mahasiswa di Timur Tengah: Motor Perhimpunan Indonesia Raya di
Mesir
Selama
menempuh pendidikan di Mesir, Abdul Kahar termasuk pelajar yang aktif
berorganisasi. Ia tercatat dalam kepengurusan menjadi anggota dan pengurus
Perhimpunan Sosial Jami’at Khairiyyah di Cairo pada 1925-1936. Selain di
Jami’at Khairiyyah, Abdul Kahar juga menjadi Ketua Perhimpunan “Indonesia Raya”
di Cairo (1933-1936). Posisinya yang strategis dalam gerakan mahasiswa
Indonesia di Mesir inilah dan dalam upaya menjalin komunikasi dengan mahasiswa
Indonesia lain di luar negeri, Abdul Kahar dimasukkan menjadi anggota tersiar
Perhimpunan Indonesia Raya di Belanda (1931-1936). Pengalaman internasional
yang dimiliki Abdul Kahar antara lain, pernah menjadi ketua delegasi Indonesia
ke Palestina dalam rangka menghadiri undangan panitia Volkenboun (Lajnatul Burq asy-Syarif) tahun 1930 dan menjadi utusan ummat Islam Indonesia dalam
konferensi Islam se-Dunia di Palestina pada 1931. Abdul Kahar Muzakkir telah
menjadi perwakilan/duta Indonesia pada forum-forum Internasional di Timur
Tengah sebelum negara ini resmi berdaulat (Kiblat, No.14 th.XXI. hlm. 7).
Pada
saat Abdul Kahar berada di Mesir, perjuangan politik oleh pemuda pelajar Indonesia sedang berlangsung di sana. Usaha untuk
mempersatukan pelajar Indonesia tidak mudah dilakukan akibat tendensi
kedaerahan yang masih muncul dan adanya pengawasan ketat dari dinas rahasia Belanda, khususnya kantor Adviseur
voor Inlandsche Zaken terhadap perkembangan politik rakyat Indonesia tak terkecuali di luar negeri. Jami’at
Khairiyyah yang pernah
dipimpin oleh Abdul Kahar memang belum mampu mempersatukan seluruh pelajar
Indonesia, namun setidaknya satunya visi untuk Indonesia merdeka sudah
tersuarakan dari Mesir.
Hampir
seluruh peristiwa yang terjadi di Indonesia terdengar oleh para pelajar
Indonesia melalui radio-radio internasional. Peristiwa-peristiwa di Indonesia dewasa itu
berpengaruh pula atas pergolakan para
pelajar Indonesia di luar
negeri. Penangkapan atas diri pemimpin-pemimpin nasionalseperti Soekarno, Hatta, Natsir, dll mengakibatkan kemarahan sehingga Abdul Kahar
bermaksud menggerakkan
teman-temannya untuk mengadakan
demontrasi. Namun,intelejen
telah bergerak terlebih dahulu dan mempengaruhi pembesar-pembesar Mesir. Akibatnya peristiwa itu, Kahar Muzakkir dipaksa pulang.
Pada
saat Mesir dikuasai Inggris, pelajar Indonesia di Mesir terus mengadakan usaha
bagaimana berita perkembangan terbaru dari tanah air sampai ke seluruh pelajar
Indonesia di sana sehingga bisa membangkitkan nasionalisme mereka. Dikarenakan
mengadakan kegiatan seperti itu dilarang oleh Inggris, dan telah berkali-kali terjadi penggeledahan terhadap
kantor pelajar
Indonesiadi sana, gerakan
ilegal pun terjadi.
Salah satunya yang digerakkan oleh “enam serangkai” : Ismail Banda, Zen Hasan, Akhmad Hasyim, A.Rakhman
Ismail (Banjar), Abdul Jalil Hasan dan Dawan.
Perubahan besar terjadi pada tahun 1944, ketika pemuda-pemuda kita
mendengar dari radio Berlin, bahwa Jepang memberikan kemerdekaan
kepada Indonesia. “Enam serangkai” memutuskan bahwa hal ini adalah momentum untuk bergerak terang-terangan. Berita kemerdekaan Indonesia pun disiarkan seluas-luasnya, dan untuk sementara ketika itu, mereka menggunakan stempel-stempel dari Perhimpunan
“Indonesia Raya” yang dahulu pernah dipimpin Abdul Kahar Muzakkir (Disjarah TNI AD, 163-168).
3. Kiprah dalam
Dunia Pendidikan: Mendirikan Sekolah Tinggi Islam untuk Pribumi
Sepulang
dari Mesir pada 1936, Abdul Kahar mengabdi sebagai guru di Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta. Dedikasi yang ditunjukkan selama menjadi guru
menjadikannya diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai direktur di madrasah
tersebut. Setelah Indonesia merdeka, banyak tokoh-tokoh muslim yang mendorong agar
didirikan perguruan tinggi yang khusus mempelajari agama Islam dalam rangka
mempersiapkan para generasi muda pengisi kemerdekaan yang mempunyai kemampuan
intelektual dan agama yang baik.
Pertemuan
dengan tokoh-tokoh organisasi Islam pun dilakukan untuk memulai menginisiasi
pendirian sekolah tinggi itu. Hadir ketika itu tokoh-tokoh dari Muhammadiyah,
Nahdhatul Ulama (NU), Persatuan
Ummat Islam (PUI) dan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) serta
Departemen Agama bentukan Jepang. Hasil pertemuan itu adalah menunjuk Panitia
Perencana Sekolah Tinggi Islam yang terdiri dari Drs. Moh. Hatta (Ketua), Mr.
Suwandi (Wakil Ketua), Dr. Ahmad Ramali (Sekretaris), KH. Mas Mansur, KH. Wahid
Hasyim, KH. Fatchurrahman Kafrawi, KH. Farid Maroef, dan KH. Abdul Kahar
Muzakkir (Anggota), serta Kartosoedarmo (Notulis). Akhirnya
pada 1944, berdirilah Sekolah Tinggi Islam (STI) yang berkedudukan di ibukota
negara, Jakarta. Abdul Kahar ditunjuk sebagai rector magnificus STI
pertama dengan anggotanya antara lain Mas Mansur,
Dr. Slamet Imam Santoso, Moh. Yamin, Kasman Singodimedjo, Mr. Soenarjo, dan
Zain Djambek.
Peresmian pembukaan Sekolah Tinggi Islam itu dilakukan pada 8 Juli
1945, dihadiri oleh sejumlah pembesar Jepang, pemimpin Kenkoku Gakuin (PPKI) dan Perguruan
Tinggi Kedokteran (STOVIA). Bung Karno pada kesempatan itu menyampaikan pidato sambutannya di depan 250 audien. Dalam sambutannya, Bung Karno menyatakan
harapan,
hendaknya STI ini menjadi pusat sumber pengetahuan
ke-Islam-an dari seluruh Asia seperti juga dahulu Nalanda (Sriwijaya) pernah
menjadi pusatnya ilmu pengetahuan tentang agama Budha di Asia. Di akhir sambutannya, Bung Karno menyerukan, “Dai Nippon Banzai, Indonesia Merdeka dan
Allahu Akbar”. (Soeara
Moeslimin Indonesia, no.15 Th.III, 1 Agustus 1945).
Ketika
dibuka pertama kali, STI menerima
mahasiswa 65
orang, dua orang di antaranya adalah wanita, seorang dari Jakarta dan seorang
lagi dari Yogyakarta. Para mahasiswanya diasramakan di Balai
Muslimin yang letaknya di Jalan Kramat Raya. Ketika
peresmian Balai Muslimin yang dilakukan pada tanggal 29 Juli 1945 atau 21 hari
sesudah pembukaan STI, menyampaikan
sambutan
berturut-turut Abdul Kahar, lalu Wahid Hasyim, Kepala Kantor Urusan
Agama seorang Jepang, dan Ir.Sukarno. Sedangkan
pembacaan doa oleh KH. Mas Mansur (Soeara Moeslimin Indonesia, no.15 Th.III, 1 Agustus 1945).
Didudukinya
ibukota negara oleh Belanda yang kembali dengan membonceng NICA, membuat
berpindahnya ibukota ke Yogyakarta. Pindahnya ibukota diikuti dengan pindahnya
STI ke Yogyakarta. Dorongan agar STI berkembang menjadi sebuah universitas
kembali menyeruak dari tokoh-tokoh Islam. Selanjutnya STI berganti nama menjadi
Universitas Islam Indonesia (UII). Abdul Kahar
kembali dipercaya menjadi rektor universitas yang masih muda itu hingga 1960.Setelah
menjadi rektor, Abdul Kahar dipercaya untuk mengembangkan Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia dengan menjadi dekan hingga 1973. Abdul Kahar juga
mengampu beberapa mata kuliah di Fakultas Ilmu Agama jurusan Dakwah (FIAD) Muhammadiyah Yogyakarta yang ketika itu bertempat di selatan
Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Fakultas Agama Islam di STI kemudian di-“negeri”-kan dan menjadi cikal
bakal pendirian IAIN yang berkedudukan di Yogyakarta.
4. Kiprah dalam
Bidang Politik: Duta Indonesia dalam Berbagai Konferensi Internasional di Timur
Tengah
Sebagai
orang yang dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyah di Kotagede, sepulang dari
Mesir, Abdul Kahar aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah menjadi anggota
Pimpinan Muhammadiyah bidang Pemuda dan Penolong Kesengsaraan Ummat (PKU) pada
1938. Semenjak itupula Abdul Kahar aktif dalam kepengurusan Hooftbestuur
(Pimpinan Pusat) Muhammadiyah hingga 1952. Saat itu, Hooftbestuur
Muhammadiyah dipimpin oleh KH. Mas Mansyur dan Ki Bagus Hadikusuma.
Abdul
Kahar juga aktif dalam kegiatan politik praktis dengan bergabung dalam Pengurus
Besar Partai Islam Indonesia (PII) dari 1938-1942 (Soebagijo, 1982, 35).
Jaringan internasional yang telah dimiliki sejak masih menjadi mahasiswa tetap
membawanya menjadi delegasi Islam Indonesia dalam rangka Konferensi Islam Timur
Jauh di Tokyo, Jepang pada 1939. Abdul Kahar juga menjadi anggota Majelis
Rakyat Indonesia (MRI) pada 1941-1942.
Pada
masa pendudukan Jepang, Abdul Kahar ditugaskan sebagai pegawai Departemen Agama.
Pada 1942-1943, Abdul Kahar dipercaya menjadi pegawai Bagian Ekonomi Pemerintah
Militer Jepang di Yogyakarta. Jabatan yang diemban berikutnya adalah pegawai
Bagian Siaran Luar Negeri Markas Besar Militer Jepang di Jakarta (1943-1945)
dan Akting Direktur Departemen Agama Pemerintah Militer Jepang(1944-1945).
Kepercayaan dari Pemerintah Militer Jepang itulah yang melatarbelakangi Abdul
Kahar terpilih menjadi anggota Dokuritsu Zunby Tjoosakai/Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945.
Pascakekalahan
Jepang dan proklamasi kemerdekaan Repbulik Indonesia, kondisi politik internal
Indonesia kembali normal. Masyumi yang sebelumnya dibubarkan oleh Jepang
kembali didirikan dan Abdul Kahar masuk dalam kepengurusan Majelis Hukum Masyumi
(1945-1959). Keaktifan dalam Masyumi juga menjadikan Abdul Kahar terpilih
sebagai anggota Majelis Konstituante Republik Indonesia dari Fraksi Masyumi
(1956-1959). Di Majelis Konstituante ini ia menjadi salah seorang jurubicara
Fraksi Masyumi bersama tokoh-tokoh lain seperti M.Natsir, Osman Ralibly, HAMKA, Isa Anshary, Rusyad Nurdin, Kasman
Singodimedjo dan Djamaluddin Datuk Singomangkuto yang menyampaikan pidato
tentang dasar negara dalam rangka penyusunan UUD tetap RI.
Kiprah
dalam persaudaraan di lingkup internasional mewakili ummat Islam Indonesia juga
masih digiati Abdul Kahar, antara lain menjadi anggota delegasi Indonesia dalam
Konferensi Islam se-Dunia di Karachi,
Pakistan (1951), utusan ummat Islam Indonesia di Muktamar Islam di Dansaslan,
Philiphina (1956) dan anggota delegasi Indonesia di Seminar/Simposium Islam
se-Dunia di Lahore, Pakistan (1958). Bahkan sejak 1952-1973, Abdul Kahar
tercatat sebagai anggota executive council Muktamar ‘Alamil Islaamiy.
Pada waktu itu, Abdul Kahar terpilih menjadi anggota executive dalam pelaksanaan
muktamar di Baghdad Iraq (Abadi, 6 Desember 1973).
5. Akhir Hayat
Karir terakhir yang diemban oleh
Abdul Kahar adalah anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ketua Perwakilan Mu`tamar ‘Alam Islami di Indonesia,
dan Dekan Fakultas Hukum UII. Abdul Kahar tutup usia di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta pada Ahad jam 21.50 dalam usia 65 tahun. Almarhum masuk
RS PKU pagi harinya jam 10.30 disebabkan tekanan darah
tinggi. Setelah jenazah disucikan, malam itu
juga dan disholatkan di musholla RS PKU Muhammadiyah dengan Imam
Ketua PP Muhammadiyah, KH. AR Fakhruddin (MasaKini, 3 Desember 1973).
Senin pagi jam 02.00 dengan ambulans jenazah dibawa ke
rumahnya di Selokraman Kotagede 3\C.4
untuk disemayamkan. Ketika jenazah masih berada di RS PKU dan di rumahnya, terlebih ketika sudah
berada di Masjid Besar Kotagede sampai berlangsungnya upacara, para pengunjung
yang berta’ziyah semakin bertambah besar. Hal sesuai dengan kebesaran
jiwanya sebagai seorang pemimpin tingkat nasional dan internasional, pejuang
yang sederhana serta ikhlas, suka menerima tamu dan bersilaturrohim.
Prosesi upacara
pemakaman jenazah Abdul Kahar Muzakkir yang dilaksanakan di serambi Masjid
Besar Mataram Kotagede Yogyakarta ketika
itu mendapat perhatian dari massa rakyat dan ummat Islam. Mereka datang
membanjir tempat tersebut, memenuhi serambi, halaman dan depan gapura masjid itu. Mereka
berdatangan dengan kendaraan mobil, sepeda motor, sepeda, andong dan jalan
kaki, baik dari dalam maupun luar DIY setelah mendengar berita tutup usianya
Prof. Dr. Abdul Kahar Muzakkir untuk memberikan penghormatan tarakhir kepada
almarhum. Selesai upacara dan jenazahnya disholatkan oleh kaum
Muslimin di Masjid Besar Kotagede, kemudian
jenazah dibawa ke pusara tempat peristirahatan terakhir di makam Boharen, Kotagede (MasaKini, 4 Desember 1973). Satu jasa besar yang tidak bisa dilupakan bangsa ini
adalah upaya membukakan diplomasi ke Negara-negara Timur Tengah sehingga
republic ini diakui sebagai Negara merdeka dan berdaulat oleh negara-negara di
kawasan Timur Tengah seperti Mesir dan Palestina.
6. Karya
Intelektual
Beberapa
karya yang telah ditulis oleh Abdul Kahar antara lain :
1.
Al-Islaam fii Induniisiaa maadhiyahu, wa
haadhiruhu, wa mustaqbaluhu(Islam di Indonesia, masa lalu, sekarang
dan masa mendatang) (1934)
2.
Negara Islam (1947)
3.
Persaudaraan Islam (1956, terbit di
Singapura)
4.
Kerjasama antara Bangsa-bangsa Islam di
Asia Tenggara (1958 di Dacca, Banglades)
7. Referensi
Abdul Haris Nasution, PerangKemerdekaan
Indonesia, Jilid 1, Bandung: DISJARAH-ADdan Angkasa.
Soebagijo I.N., 1982. K.H.
Mas Mansur
Pembaharu Islam di Indonesia, Jakarta:
Gunung Agung.
Abadi, 6 Desember 1973
Kiblat, No.14 th.
XXI. hlm. 7
MasaKini, 3 Desember 1973
MasaKini, 4 Desember 1973
Soeara Moeslimin Indonesia no.15 Th.III, 1 Agustus 1945
(Tulisan ini dipersembahkan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang akan mengajukan beliau sebagai Pahlawan Nasional tahun 2012)