Minggu, 30 September 2012

Idol


Kiai Dahlan



Ya, itu nama akrab sapaannya. Nama lengkapnya Kiai Haji Ahmad Dahlan. Kecilnya dulu bernama Muhammad Darwisy. Tidak lain adalah pendiri persyarikatan Muhammadiyah. Kenapa harus memperbincangkan sosok yang satu ini? Tidak lain karena siang tadi saya diberi kesempatan memantik diskusi sahabat-sahabat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) komisariat Al-Khawarizmi UGM di sudut Masjid Kampus UGM.

Materi yang ditawarkan cukup berat: pelajaran pertama Kiai Dahlan! Ya, pelajaran pertama yang terdapat dalam kitab “7 Falsafah Hidup dan 17 Ayat Pokok Ajaran KH. Ahmad Dahlan”. Banyak sejarawan yang menyatakan bahwa Kiai Dahlan berbeda dengan pendiri organisasi yang lain. Apa pasal? Kiai Dahlan tidak pernah menulis sebuah buku acuan gerakan yang didirikannya! Lalu, buku itu tulisan siapa? Tak lain adalah Kiai Raden Haji (KHR) Hadjid. Seorang murid, sejawat dan rekan seperjuangannya dalam merintis pendirian Muhammadiyah.

Sosok KHR Hajid istimewa. Dia adalah alumni pondok yang masyhur di awal abad XX yakni Termas di Pacitan. Saat pulang ke kampungnya di Kauman pada 1916, dia bertemu dengan “kiai kafir” yang banyak dicemooh masyarakat karena ajarannya yang “menolak tradisi”. “Kiai kafir” merupakan panggilan sebagaian masyarakat Kauman untuk Kiai Dahlan. Sebagai alumni sebuah pesantren yang tersohor, dia ingin tau seberapa hebat sang kiai itu. Singkat cerita, Kiai Hadjid percaya kepada kapasitas keilmuan Kiai Dahlan dan bersedia bergabung dalam organisasi yang belum lama dibuatnya: Muhammadiyah. Dialah yang mengumpulkan materi-materi yang biasa disampaikan oleh Kiai Dahlan dalam berbagai kesempatan tabligh menjadi buku itu.

Kenapa Kiai Dahlan dipanggil oleh sebagaian masyarakat Kauman sebagai “kiai kafir”? Tak lain karena Kiai Dahlan dianggap menyebarkan paham “aneh” yang menyesatkan. Bagaimana mungkin meruwat orang yang meninggal 3, 7, 40, 100 dan 1000 harian yang sudah mentradisi dilarang. Begitu juga dengan menyederhanakan prosesi pernikahan hanya ijab dan mengirim undangan kepada tetangga saja. Pun dengan larangan mengantar sesajen ke pohon beringin besar di tengah alun-alun. Tentu saja ini mengagetkan masyarakat ketika itu.

Tercatat Kiai Dahlan berangkat haji dua kali. Kali pertama karena keinginannya menimba ilmu di sana dan yang kedua, mendapatkan tugas menghajikan Sultan Hamengkubuwana VII. Ketika di Makkah dia banyak berdialektika dengan kitab-kitab karya Rosyid Ridho, Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghoni seperti Tafsir Al-Manaar, Majalah Al-Manaar, Tafsir Juz Amma dan Kitab Al-Urwatul Wutsqa. Kitab-kitab itulah yang mengilhami Kiai Dahlan untuk membuat sebuah “gerakan” di negerinya.

Hikmah yang saya dapat dari sosok Kiai Dahlan ini adalah, kemampuan dia “meng-Indonesiakan” yang didapat dari luar negeri. “Mengindonesiakan” adalah istilah dari Kiai Hasyim Muzadi, mantan ketua PBNU. Maksudnya apa? Ya, beliau mampu mengkontekstualkan apa yang didapat dari filsafat pemikiran Abduh-Ridlo-Al-Afghoni tadi dengan membuat gerakan pendidikan dan pelayanan kesehatan di negerinya, yang memang dua hal itu paling dibutuhkan oleh masyarakat Hindia-Belanda saat itu.

Sepulang dari Makkah, beliau mantab mendirikan organisasi yang kemudian dinamakan Muhammadiyah. Kiai Dahlan berharap dengan adanya organisasi amal shaleh bisa lebih terorganisir dengan baik. Tepat kiranya, dengan organisasi yang rapi dan tertib di setiap lini-lah, produksi dan reproduksi amal shaleh bisa dilaksanakan. Dan kini, Muhammadiyah masih berdiri dengan 1540 Taman Kanak-kanak, 1.132 Sekolah Dasar, 1.762 Madrasah Ibtidaiyyah, 1.184 Sekolah Menengah Pertama, 584 Madrasah Tsanawiyah, 511 Sekolah Menengah Atas, 263 Sekolah Menengah Kejuruan, 172 Madrasah Aliyah, 62 Pesantren, 155 Perguruan tinggi, 345 Balai Kesehatan dan Rumah Sakit, 330 Panti Asuhan, 19 Bank Perkreditan Rakyat, 190 BMT dan 808 Koperasi.

WOW, sebuah “pengindonesiaan” dan produksi amal shaleh yang luar biasa.. Semoga akan selalu berkembang dan maju.. Insya Allah.. Sekali lagi gue musti bilang WOW! : )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar