Kiai Dahlan
Ya, itu nama akrab sapaannya.
Nama lengkapnya Kiai Haji Ahmad Dahlan. Kecilnya dulu bernama Muhammad Darwisy.
Tidak lain adalah pendiri persyarikatan Muhammadiyah. Kenapa harus
memperbincangkan sosok yang satu ini? Tidak lain karena siang tadi saya diberi
kesempatan memantik diskusi sahabat-sahabat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
komisariat Al-Khawarizmi UGM di sudut Masjid Kampus UGM.
Materi yang ditawarkan cukup
berat: pelajaran pertama Kiai Dahlan! Ya, pelajaran pertama yang terdapat dalam
kitab “7 Falsafah Hidup dan 17 Ayat Pokok Ajaran KH. Ahmad Dahlan”. Banyak
sejarawan yang menyatakan bahwa Kiai Dahlan berbeda dengan pendiri organisasi
yang lain. Apa pasal? Kiai Dahlan tidak pernah menulis sebuah buku acuan
gerakan yang didirikannya! Lalu, buku itu tulisan siapa? Tak lain adalah Kiai
Raden Haji (KHR) Hadjid. Seorang murid, sejawat dan rekan seperjuangannya dalam
merintis pendirian Muhammadiyah.
Sosok KHR Hajid istimewa. Dia
adalah alumni pondok yang masyhur di awal abad XX yakni Termas di Pacitan. Saat
pulang ke kampungnya di Kauman pada 1916, dia bertemu dengan “kiai kafir” yang
banyak dicemooh masyarakat karena ajarannya yang “menolak tradisi”. “Kiai kafir”
merupakan panggilan sebagaian masyarakat Kauman untuk Kiai Dahlan. Sebagai
alumni sebuah pesantren yang tersohor, dia ingin tau seberapa hebat sang kiai
itu. Singkat cerita, Kiai Hadjid percaya kepada kapasitas keilmuan Kiai Dahlan
dan bersedia bergabung dalam organisasi yang belum lama dibuatnya:
Muhammadiyah. Dialah yang mengumpulkan materi-materi yang biasa disampaikan
oleh Kiai Dahlan dalam berbagai kesempatan tabligh menjadi buku itu.
Kenapa Kiai Dahlan dipanggil oleh
sebagaian masyarakat Kauman sebagai “kiai kafir”? Tak lain karena Kiai Dahlan
dianggap menyebarkan paham “aneh” yang menyesatkan. Bagaimana mungkin meruwat
orang yang meninggal 3, 7, 40, 100 dan 1000 harian yang sudah mentradisi
dilarang. Begitu juga dengan menyederhanakan prosesi pernikahan hanya ijab dan
mengirim undangan kepada tetangga saja. Pun dengan larangan mengantar sesajen
ke pohon beringin besar di tengah alun-alun. Tentu saja ini mengagetkan
masyarakat ketika itu.
Tercatat Kiai Dahlan berangkat
haji dua kali. Kali pertama karena keinginannya menimba ilmu di sana dan yang
kedua, mendapatkan tugas menghajikan Sultan Hamengkubuwana VII. Ketika di
Makkah dia banyak berdialektika dengan kitab-kitab karya Rosyid Ridho, Muhammad
Abduh dan Jamaluddin Al-Afghoni seperti Tafsir Al-Manaar, Majalah Al-Manaar,
Tafsir Juz Amma dan Kitab Al-Urwatul Wutsqa. Kitab-kitab itulah yang mengilhami
Kiai Dahlan untuk membuat sebuah “gerakan” di negerinya.
Hikmah yang saya dapat dari sosok
Kiai Dahlan ini adalah, kemampuan dia “meng-Indonesiakan” yang didapat dari
luar negeri. “Mengindonesiakan” adalah istilah dari Kiai Hasyim Muzadi, mantan
ketua PBNU. Maksudnya apa? Ya, beliau mampu mengkontekstualkan apa yang didapat
dari filsafat pemikiran Abduh-Ridlo-Al-Afghoni tadi dengan membuat gerakan
pendidikan dan pelayanan kesehatan di negerinya, yang memang dua hal itu paling
dibutuhkan oleh masyarakat Hindia-Belanda saat itu.
Sepulang dari Makkah, beliau
mantab mendirikan organisasi yang kemudian dinamakan Muhammadiyah. Kiai Dahlan
berharap dengan adanya organisasi amal shaleh bisa lebih terorganisir dengan
baik. Tepat kiranya, dengan organisasi yang rapi dan tertib di setiap lini-lah,
produksi dan reproduksi amal shaleh
bisa dilaksanakan. Dan kini, Muhammadiyah masih berdiri dengan 1540 Taman
Kanak-kanak, 1.132 Sekolah Dasar, 1.762 Madrasah Ibtidaiyyah, 1.184 Sekolah Menengah
Pertama, 584 Madrasah Tsanawiyah, 511 Sekolah Menengah Atas, 263 Sekolah Menengah
Kejuruan, 172 Madrasah Aliyah, 62 Pesantren, 155 Perguruan tinggi, 345 Balai
Kesehatan dan Rumah Sakit, 330 Panti Asuhan, 19 Bank Perkreditan Rakyat, 190
BMT dan 808 Koperasi.
WOW, sebuah “pengindonesiaan” dan produksi amal shaleh yang
luar biasa.. Semoga akan selalu berkembang dan maju.. Insya Allah.. Sekali lagi gue musti bilang WOW! : )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar