Banteng
Mendengar kata “banteng” sebagian besar dari kita pasti
terpikir warna merah, ataupun logo dari salah satu partai politik oposisi di
Indonesia. Itu tidak salah, tetapi banteng yang saya maksud ini bukan logo
ataupun simbol, tetapi hewan banteng yang sebenarnya. Yap, hewan yang
menyerupai kerbau, berwarna hitam dan bertanduk indah nan tajam.
Kenapa harus membahas banteng? Kisah ini bermula dari
ketika saya menjadi pendengar setia gurauan dua orang dosen saya di ruang
jurusan. Kebetulan beliau berdua sudah menyelesaikan program doktoralnya, satu
di Belanda dan satu lagi di Korea. Apa yang menarik dari kisah banteng yang
dibincangkan beliau berdua?
Dosen yang pertama membuka perbincangan dengan
mengatakan bahwa seorang doktor itu bagaikan banteng. Apa pasal? Menurutnya,
dengan kedua tanduk yang dimilikinya dia bisa “menyruduk” apapun yang masih
tertutup menjadi terbuka dan menghasilkan pundi-pundi rejeki. Tentu berbeda
dengan yang masih bergelar master (apalagi sarjana)!
Kedua dosen kemudian saling berkelakar bahwa menjadi
doktor di Indonesia itu “rejeki”-nya tetap saja pas-pasan. Berbeda dengan di
luar negeri. Mereka berdua pun bertukar pengalaman. Ternyata, dengan beasiswa
untuk hidup (living cost) yang hampir 10 juta sebulan terkadang tidak cukup
untuk untuk hidup di sana, akhirnya pekerjaan sampingan diambil. Hasilnya pun
lumayan (besar). Itu baru kandidat doktor apalagi kalau sudah jadi doktor, yak?
Mendadak imajinasiku melayang. Hmm, bener juga ya? Dengan
logika “doktor itu seperti banteng” artinya kalau master berarti seperti
banteng bertanduk satu, sedangkan sarjana seperti banteng tak bertanduk. Pantes
lah kalau masih seret rejekinya. Hehehe..
Lalu di mana posisi saya? Yap, saya memang baru saja
menyelesaikan sarjana, Agustus 2011 lalu. Menjadi sarjana berarti baru jadi
banteng tak bertanduk. Dalam hati ingin sekali segera punya tanduk. Tanduk ini
bukan sekedar untuk gaya-gayaan tapi memang sudah menjadi kebutuhan. Ya, dengan
tanduk walaupun cuma satu, minimal sudah bisa untuk mendobrak pintu-pintu
rejeki itu.
Targetku realistis dan tidak muluk. Jika memang diberi
kesempatan memasang tanduk import ya, syukur Alhamdulillah. Namun, jika tidak,
aku insya Allah qona’ah dengan tanduk lokal saja. Apapun tanduknya, yang
terpenting adalah kemanfaatan ilmu yang kita dapat bukan? Mari bersemangat
menumbuhkan tanduk! : )
6 Juni 2012
6 Juni 2012
Tak like mas... :)
BalasHapusdan tak do'akan smoga terwujud... amiiienn.. :)
Matur nuwun..
BalasHapusSemoga kamu juga meraih apa yang kamu cita2kan..
Saling mendoakan ya.. : )